Sejarah Batik Semarang dan Perkembangannya
Sejarah Batik Semarang dan Perkembangannya - Sejarah Batik Indonesia. Batik
merupakan warisan sejarah bangsa Indonesia, namun sejak kapan manusia
mengenal seni mendekorasi kain atau biasa disebut membatik itu? Apakah
batik benar-benar berasal dari bahasa Jawa? Tak satupun dari para ahli
atau peneliti batik berani memastikan asal mula batik. Yang jelas Elliot
seorang peneliti, pecinta dan kolektor batik dari Amerika Serikat
berani mengatakan bahwa batik telah ada di pulau Jawa tiga abad
sebelumnya, yaitu pada abad ke-16. Definisi batik secara umum yang telah
disepakati pada saat konvensi batik Internaional di Yogyakarta pada
tahun 1997 adalah proses penulisan gambar atau ragam hias pada media
apapun dengan menggunakan lilin batik (wax) sebagai alat perintang
warna. Bilamana prosesnya tanpa menggunakan lilin batik maka tidak bisa
dinamakan batik, dan dikatakan tekstil bermotif batik. Lalu, Bagaimana
dengan Batik Semarang?
JEJAK SEJARAH BATIK SEMARANG
Semarang merupakan daerah pelabuhan dan salah satu pusat investasi
industri terbesar di Indonesia. Semarang sering disinggahi bangsa dan
budaya luar, sehingga banyak akulturasi budaya terjadi. Dalam bidang
batik, banyak yang mengira bahwa Semarang merupakan sentra batik di Jawa
Tengah. Namun sampai saat ini belum ada yang menunjukkan Semarang
memiliki tradisi batik, apalagi memiliki motif dan pakem yang
jelas. Mengapa Semarang sebagai wilayah perbatikan kurang banyak disebut
? hal ini sangat dimungkinkan karena di wilayah tersebut jumlah
produsen batik relative kecil ketika meningkatnya pengusaha batik
Indo-Eropa dan Cina peranakan. Hal itu begitu berbeda bila dibandingkan
dengan wilayah pekalongan.
Pada tanggal 24 Juli 2007, pemerintah kota Semarang melalui Disperindag
me-launching batik Semarang melalui sebuah seminar yang membahas
mengenai motif dan identitas batik. Dan disepakati bahwa bahwa batik
Semarang adalah batik yang diproduksi oleh orang atau warga kota
semarang dengan motif atau ragam hias yang berhubungan dengan ikon-ikon
Semarang. Pengertian itu belum definitif karena tidak menutup
kemungkinan masih berlanjutnya penelitian mengenai batik Semarang.
MOTIF BATIK SEMARANG
Robyn Maxwell, seorang peneliti tekstil di Asia Tenggara, menjumpai
sebuah sarung di Tropenmuseum Amsterdam yang di buat di Semarang. Dalam
bukunya Textiles of Southeast Asia: Tradition, Trade and Transformation
(2003:386), Maxwell menyebut sebuah kain produksi Semarang berukuran
106,5×110 cm yang terbuat dari bahan katun dengan dekorasi dari warna
alam memiliki motif yang sangat berbeda dengan motif Surakarta atau
Yogyakarta.
Pepin Van Roojen, menemukan beberapa jenis batik dari Semarang seperti
yang ditulis dalam bukunya berjudul Batik Design (2001:84). Ada kain
sarung yang dibuat pada akhir abad ke-19 di Semarang. Sarung itu
memiliki papan dan tumpal dengan ornament berupa bhuta atau sejenis daun
pinus runcing asal Kashmir. Motif badannya berupa ceplok. Ini
menunjukkan meskipun secara spesifik batik Jawa Tengah yang diwakili
Surakarta dan Yogyakarta berbeda dengan batik pesisir, Semarang termasuk
di dalamnya, namun pola-pola baku tetap pula dipakai seperti
ditunjukkan pada pola ceplok itu.
Peneliti batik lain, menegaskan batik semarang dalam beberapa hal
memperlihatkan gaya laseman karakter utama laseman berupa warna merah
(bangbangan) dengan latar belakang gading (kuning keputih-putihan). Lee
Chor Lin (2007:65) mengatakan laseman dengan cirri bangbangan
mempengaruhi kreasi batik di beberapa tempat di pesisir utara lainnya
seperti Tuban, Surabaya dan Semarang.
Maria Wonska-Friend yang mengkaji koleksi batik milik Rudolf G Smend
(Smend et al, 2006:53) menyebutkan ciri pola batik Semarang berupa
floral, yang dalam banyak hal serupa dengan pola Laseman. Tidak heran
pada koleksi tersebut banyak sekali kain batik dari abad ke-20 yang
disebut batik Lasem atau Semarang. Maksudnya, batik-batik tersebut tidak
secara spesifik disebut sebagai kreasi satu kota misalnya batik Lasem
saja atau batik Semarang saja.
BATIK- BATIK DI SEMARANG
1. Franquemont dan Oosterom
Batik Franquemont memiliki warna beragam dengan warna hijau sebagai
kekhasan dan memiliki pola-pola bermotif Eropa, Cina dan pesisir utara
khususnxa Madura dan pola dari keraton. Franquemont juga mengambil
figure-figur dan atribut dari berbagai dongeng Eropa yang ditampilkan
berulang pada badan kain batik.
Batik Oosterom cirinya memiliki pola yang rumit salah satu kreasinya
dengan motif pola sirkus yang menggambarkan penunggang kuda, orang
berdansa, bangunan mirip kastil, pohon palma, dilengkapi dedaunan dan
burung mirip phoenix.
2. Tan Kong Tien
Motif-motif batik dari “Batikkerij Tan Kong Tien” merupakan hasil
akulturasi motif pesisiran yang berkarakter terbuka dan motif keraton.
Contoh motif dasar parang yang merupakan motif batik keraton, seringkali
dipadu dengan motif burung merak.
3. Neni Asmarayani
Neni membuka galeri batik pada tahun 1970-an di Semarang dan melibatkan
beberapa pelukis dan seniman ternama dalam penciptaan desain. Ada dua
motif nuansa Semarang yang diciptakan yaitu Warak Ngendog dan Pandan
Arang. Namun usaha pembatikan ini kemudian tidak berlanjut.
4. Batik Semarang 16
Setelah sekian lama vakum pada tahun 2005, Umi. S. Adi Susilo aktif
menghidupkan kembali aktivitas perbatikan. Selain banyak mengadakan
pelatihan batik juga membentuk perusahaan kerajinan Batik Semarang 16.
Ratusan motif telah dihasilkan Batik Semarang 16 terutama motif-motif
baru yang berhubungan dengan landmark kota Semarang seperti Tugu Muda,
Lawang Sewu, Pohon Asem, Blekok Srondol dan banyak lagi. 11 motifnya
telah dipantenkan di HAKI.
5. Kampung Batik
Merupakan sentra batik di Semarang yang pernah mengalami kejayaan pada
zaman Belanda. Tak hanya Kampung Batik yang merupakan tempat perajin
batik, tetapi juga Bugangan, Rejosari, Kulitan, Kampung Melayu, dan
Kampung Darat, yang notabene adalah kampung-kampung yang terletak di
sekitar pusat Kota Semarang tempo dulu. Berdasarkan penelitian Dr Dewi
Yuliati MA dari Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Undip Umumnya orang
Semarang tempo dulu membatik dengan motif naturalis (ikan, kupu-kupu,
bunga, pohon, bukit, dan rumah), thdak simbolis seperti batik-batik di
Surakarta dan Yogyakarta. Motif naturalis menjadi ciri khas batik yang
diproduksi oleh masyarakat pesisir utara Jawa. Ciri itu dapat dimaknai
sebagai karakter masyarakat pesisir, yang lebih terbuka dan ekspresionis
jika dibandingkan dengan masyarakat di Surakarta dan Yogyakarta, yang
lebih dilingkupi oleh sistem simbol, norma-norma, dan aturan-aturan di
bawah kekuasaan raja.
6. Desa Gemawang
Berdasarkan literatur, sejak jaman Hindia Belanda di wilayah ini memang
telah ada industri batik. Setelah Gunung Ungaran meletus hebat sekitar
tahun 1800-an, kerajinan batik lalu menyebar ke berbagai wilayah. Batik
Gemawang mulai bangkit pada tahun 2005, setelah diadakan pelatihan
membatik. Batik ini mempunyai ciri khas unsur batik kopi, tala madu dan
baruklinting. Sedangkan pewarnaan utama menggunakan indigo (indigofera).
Posting Komentar